>Hari pertama masuk setelah libur UN ini adalah hari yang aku tunggu. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan pada anak-anak kelas XI, terutama ke anak-anakku XI Sos 4.

Salah satu yang ingin aku lakukan hari ini adalah memberitahukan tentang rencana untuk mengadakan kantin kejujuran di kelas. Keinginanku untuk mengadakan hal seperti itu bukan karena latah, tapi disebabkan oleh keprihatinanku akan sikap mental anak-anak (dan juga sebagian guru) dalam menghadapi Ujian Nasional. Perilaku yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Sikap yang seolah-olah mendewakan kelulusan dan mengabaikan kejujuaran. Pandangan yang menganggap ketidaklulusan sebagai hal yang memalukan, walau si anak sudah berusaha dan juga mengerjakan UN tersebut dengan jujur, tapi menganggap kelulusan sebagai hal yang membanggakan, meskipun didapatkan melalui contekan. Yang lebih parah lagi, sudut pandang yang menyalahkan kejujuran sebagai hal yang penyebab ketidaklulusan!

“Dia ga lulus karena ga mau nyontek!”

Duh, celaka benar bangsa ini.

Apakah benar kejujuran lebih rendah dari kebohongan?

Apakah benar kebohongan lebih agung dari pada kejujuran?

Jujur saya prihatin sekali dengan adanya pandangan seperti itu. Sudut pandang seperti itu adalah kanker yang menggerogoti tubug bangsa ini. Penyakit ganas yang mengancam kelangsungan Negara ini. Stadium II! Walau perlu usaha keras tapi masih bisa diselamatkan. Pasti bisa. Yakin bisa.

Hari ini, Senin 27 April 2009, salah satu aksi untuk menyebarkan gerakan kejujuran dimulai. Masih dalam skala kecil memang. Tapi apapun itu, semua harus dilakukan. Every little thing means a lot. Setiap hal dimulai dari hal yang kecil. Yes, maybe it’s a baby step. But as long as it’s sustainable, I believe it will make a difference.

Kantin tersebut diadakan di kelas XI Sos 4. Pada dasarnya ditujukan untuk anak XI Sos 4, tapi terbuka juga untuk anak kelas lain. Jika mereka pengen membeli makanan kecil disitu tentu diperbolehkan. Untuk pertama, kantin tersebut hanya menyediakan minuman kemasan gelas dan permen.

Dua hari yang lalu, Sabtu 25 April 2009, diadakan survey terhadap anak-anak XI Sos 4 untuk mengetahui makanan dan minuman apa saja ang mereka inginkan untuk ada di kantin. Meskipun begitu, untuk hari pertama kantin hanya bisa menyediakan minuman kemasan botol (1 kardus) dan permen (1 toples). Hal tersebut dikarenakan keterbatasan waktu untuk membeli makanan dan minuman untuk persediaan jajan kantin.

Sore ini tadi aku membantu anak-anak untuk melengkapi koleksi snack di kantin. Tadi sesampainya di Cepu aku tak lupa untuk berbelanja makanan kecil di salah satu toko di kota asalku ini. Hasilnya aku memperoleh chocolates, wafelatos, kacang haruda, dan permen tamarind. Tak terlalu banyak memang, tapi untuk permulaan ini sudah awal yang bagus. Diliat dulu responnya gimana.

Yang pasti kantin ini diadakan bukan untuk sekedar mengikuti tren atau bahkan untuk menetahui seberapa banyak pembohong alias pencuri di kelas XI Sos 4 (atau sekolah) tapi untuk melatih kejujuran dalam diri semua anak. Apakah kantin tersebut akan rugi atau tidak bukanlah hal yang penting. Apakah program ini akan sukses atau tidak juga bukanlah impianku. Semua dilakukan sebagai langkah kecil untuk memperbaiki keadaan. Langkah kecil ini, entah itu berarti atau tidak, adalah pesan bahwa kita berusaha untuk menjadi manusia yang jujur.

Kata siapa kita tidak bisa lulus tanpa mencontek?

Kata siapa kita tidak bisa berhasil tanpa curang?

Honesty movement ini menyampaikan pesan bahwa anak-anak SMA N 1 Ngawen bisa lulus tanpa mencontek. Kita bisa berhasil tanpa berbuat curang.


Tunggu gerakan berikutnya.
>Hari ini tadi sebenarnya dimulai dengan buruk. Saah satu tim kesuakaanku, Inter Milan, gagal lolos ke final Coppa Italy. Cuma menang 1-0, jadi secara agregat kalah 3-1. Payah! Ga agresif blas. Gitu pengen jadi juara Champions League, ya ga mungkin lah. Dibantai Barcelona, Liverpool, atau Chelsea tu iya. Beneamata masih belum waktunya jadi kampiun liga jawara-jawara se-Eropa. Tahun depan mungkin. Hopefully seh.

Anyway, walau hari ini awalnya tidak seperti harapanku tapi aku hari ini berangkat dengan semangat. Di hari terakhir UN ini, aku pergi kerja dengan semangat akan melaksanakan tugas lebih baik dari hari kemarin.

”Tidak boleh lagi aku permisif ma anak-anak. Tak akan lagi ruang ujian jadi kacau. Aku harus lebih tegas,” gitu pikirku.

Seperti hari kemarin, saat aku sampai ke sekolah, runag pengawas masih sepi. Kali ini baru ada duan orang guru.satu cewek, satunya lagi cowok. Segera aku bersalaman dengan mereka dan seteah itu duduk di tempat biasanya. Next, as usual, I held my cell phone. Pressed the up-navigation key , which is the file manager shortcut. Tried to find the application menu then open it. Afterward, I looked the opera mini browser. Waktunya baca-baca berita di soccernet.com (dan tentu saja ngecek facebook).

Setelah itu ya biasa, sesekali menyambut jabat tangan guru-guru yang baru datang , basa-basi sebentar, trus dengerin pengarahan sebentar dari Kepala Sekolah. Setelah itu ya langsung bertugas.

Kali ini aku ngawasi di ruang 6. Teman pengawasku sekarang adalah Pak Hadi. Beliau yang pada hari pertama bertugas ngawasi bareng ma aku. Ruang 6 ini ruangnya anak IPS. Mapel kali ini adalah Ekonomi. Mapel yang bisa dikategorikan sulit.

“wah bakalan rame ni anak-anak,” kataku dalam hati.

Seperti biasa, pada saat memasuki ruang, anak-anak semuanya sangat sopan. Mereka menyalami kami pengawas satu per satu, beberapa bahkan ada yang mencium tangan kami. Sweet banget pokoknya. Mereka semua, di sekolah manapun, termasuk di SMA N 1 Ngawen, selalu kayak gitu. Selalu sopan, walau entah tulus atau nggak, terpaksa atau nggak. Yang pasti ketika di awal mereka sopan, nanti di pertengahan jalannya ujian mereka akan terlihat ga sopannya. Mereka nyontek tanpa tedeng aling-aling, diperingatkan tapi tetap saja dilakukan, bahkan terkadang terlihat menyepelekan dan merendahkan para pengawas. Sangat bertolak belakang dengan sikap manis mereka di awal.

Ini pula yang terjadi tadi. Di separuh pertama waktu ujian mereka semua tenang. Walau tidak semua mengerjakan (beberapa ada yang hanya bengong atau membolak-balik soal) tapi yang jelas anak-anak sikapnya sangat baik. Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama, di separuh kedua aksi mereka dimulai. Tengok kiri kanan dan belakang mulai dilakukan. Tak ingin keadaan jadi tak terkendali, aku memperingatkan mereka dengan pelan dan sehalus mungkin. As always, peringatanku diindahkan. Tetap saja mereka toleh kiri kanan.

Aku sudah berjanji ma diriku sendiri untuk bertugas lebih baik, maka aku berusaha menepati janjiku itu. Sebelumnya aku berusaha baca Prosedur Operasional Standar. Aku sudah baca POS berkali-kali, tapi kali ini aku baca lagi. Aku ingin memastikan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Di situ aku cari poin bahwa pengawas tidak boleh berjalan ke belakang, dan setelah aku cari aku tidak menemukan poin seperti itu. Mungkin kalian bertanya kenapa aku mencari poin yang seprti itu. Jawabannya adalah karena aku pengen memperingatkan secra pribadi anak-anak yang tidak bisa dibilangi.

Jadi dalam menyikapi anak-anak yang ngeyelan, aku coba memperingatkan mereka sekali lagi. Aku datangi mereka dengan pelan, aku tegur juga dengan pelan dan juga dengan senyum. Aku juga semangati mereka bahwa mereka bisa.

Tapi memang sulit mengahadapi anak-anak yang kepepet. Anak-anak yang tidak konsekuen dengan pilihannya. Anak-anak yang memilih untuk tidak pernah belajar tapi pengen dapet nilai bagus. Susah banget menghadapi tipe anak seperti itu. Dan itulah yang terjadi pada sebagian besar anak.

Walau sudah aku datangi, aku peringatkan secara langsung tetap saja mereka mencoba berbuat curang. Ngeyel ya? Aku kemudian mencoba mengingatkan mereka tentang tata tertib peserta Ujian Nasional. Aku memohon pada mereka untuk bekerja sendiri-sendiri. Aku bilang dengan nada halus dan pelan,

“Mas…Mbak…saya mohon kalian kerja sendiri. Saya mohonnnnn…banget.”

Aku bener-bener memohon tadi. Tapi setelah aku memohon, mereka ya tetap saja. Kemudian aku sekali lagi bilang pada mereka,

“Mas...Mas…Mbak…Mbak…saya mohon kerja sendiri ya.kalian bisa kok. Cona aja dikerjakan. Pasti bisa kok.”

Hari ini tadi aku mencoba berbagai cara untuk mengontrol keadaan. Tidak sempurna memang, tapi sudah lebih baik dari yang kemarin. Anak-anak sudah kesulitan untuk berbuat curang.

Aku tadi juga coba jalan pojok-pojok depan kelas coz anak-anak yang di deret pojok kalau tidak di dekati tetap aja nyontek. Aga repot sebenarnya, karena, misal, jika aku di pojok kanan, anak yang di pojok kiri akan nyontek. Kalau aku di pojok kiri, maka yang terjadi sebaliknya.

Mungkin aku berlebihan, tapi aku sudah pastikan aku tidak melanggar POS. Dan aku pun tidak akan bersikap demikian jika mereka bisa diperingatkan. ”I got no choice,” pikirku.

Beberapa anak menunjukkan kekesalan, dan juga ketidakhormatan mereka, pada pengawas. Di setengah jam terakhir aku hars kerja keras mengingatkan mereka coz mereka sudah mulai nekat. Aku ingat yang paling vulgar tadi. Anak di meja paling belakang, salah satunya di pojok belakang sebelah kiri, yang mengerjakan soal A (P14), secara terang-terangan bertanya ke teman di sberang bangkunya. Dan yang lebih gila lagi, temannya itu menjawab juga dengan sangat vulgar,

“C,” dengan nada yang keras.

I was a itlle bit shock to hear it.

“Nekat anak ini. Nantang dia,” batinku.

Aku kemudian mendatangi anak yang meneriakkan jawaban tersebut. Aku pegang bahunya dan bilang dengan nada yang pelan, juga tetap dengan senyum,

“Hey…stay cool. Tetap tenang. Coba kerjakan sendiri. Ga usah dibantu temannya. Iya kalo bener, kalo salah gimana? Kasihan kan. Coba kerjain sendiri ya.”

Anak itu tidak berkata apa-apa. Aku bahkan tidak ingat apa dia tadi mengangguk waktu aku ingatkan. Dia hanya memandang dengan mata yang menantang, dan pada saat yang bersamaan ketakutan. Mungkin dia pengen menunjukkan kekeuatannya, bahwa dia tidak takut dengan aku. Tentu saja aku tidak akan melayaninya. Cukup aku ingatkan saja. Tetap dengan nada halus dan senyum.

Bahkan tadi anak yang duduk di bangku pojok depan sebelah kanan, yang mengerjakan soal A (P14), mengacungkan jari tengahnya padaku. Aku tetap saja menyambutnya dengan senyum, dan berkata,

“Ayo kerjakan sendiri.”

Dalam hati aku berkata,

“Terima kasih pujiannya.”

Ketika ujian berakhir, dan anak-anak sudah diluar, aku dengan salah satu anak mengumpat,

“Asu…asu. Asu…asu!”

Di dalam ruangan, sambil memeriksa lembar jawaban, aku hanya tersenyum. They do hate me.

Ketika keluar dari sekolah, menuju pulang, dari spion motorku aku bisa melihat ada satu motor di belakang.

“Ooo….anak Jepon.”

Seperti biasa aku tadi memacu motorku dengan kencang, dan motor yang di belakang, Suzuki Smash warna biru, tetap saja mengikuti. Bahkan dia seperti ingin menyalip (padahalwaktu itu aku ngebut dan cenderung di tengah jalan). Merasa dia ngotot ingin nyalip, aku kemudian mengurangi laju motorku dan sedikit menepikannya. Smash itu lalu menyalip. Anak yang dibonceng terlihat menengok ke belakang melihatku dalam waktu yang sangat lama. Aneh menrutku. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak melakukan apa-apa. Setelah menyalipku, motor yang ada di depanku itu malah mengurangi kecepatannya. Tentu saja aku dengan speed yang konstan segera melewatinya. Saat aku di posisi yang sejajar dengan Suzuki tersebut, aku bisa melihat anak yang nyetir melihat padaku. Lagi-lagi entah dengan maksud apa. Aku pun terus melanjutkan perjalananku.

Hari ini tadi bisa dibilang sukses. Aku sudah menepati janjiku. Aku sudah melakukan yang lebih baik dari kemarin. Dan yang lebih utama, aku sudah menjalankan tugas yang diberikan padaku.

Apa yang terjadi hari ini saya percaya terjadi hampir di semua tempat. Intensitasnya kadang berbeda memang, tapi yang pasti usaha untuk melakukan kecurangan dalam diri anak selalu ada. Di SMA 1 Ngawen juga (di kesempatan lain akan aku ulas tentang apa yang terjadi di Ngawen).

Sekolah, seperti SMA N 1 Jepon, sebenarnya sudah sangat baik dalam menyelenggarakan ujian. Merka juga sangat jujur dalam melasanakan tugasnya. Tapi memang yang terjadi di ruang, oleh anak, terkadang di luar kuasa mereka. Hal seperti ini sering terjadi di berbagai sekolah.

Aku percaya mereka semua dan melaksanakan tugas dengan baik, dan aku bisa melihat itu. Yang lebih penting sekarang adalah menyiapkan mental anak dengan lebih baik. Melihat ke depan saja. Tomorrow will be better.

Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana jalannya UN di SMA 1 Ngawen.
>Tugas kali ini untuk semua cowok XI Sos 4. Mengapa yang cewek nggak? D'ya wanna know why? Okay, I'll tell you why.

Sebenernya aku lupa awalnya, yang jelas hari itu anak XI Sos 4 ada kelas tambahan. O iya aku inget! Kelas tambahan tentang "passive voice." kelas tambahan itu dilakukan setalh jam ke-8 atau pada jam ke-9. Jadi setlah bel pulang, maka mereka harus masuk jam tambhan. Pada waktu itu kelas tersebuit direncanakan akan berlangsung, paling lama, 1 jam. Tapi ketika jam 13.30an aku ke kelas, ternyata yang tersisa cuma anak-anak cewek aja. Ya udah ga apa-apa.

Tentu saja, tidak apa-apa bukan berarti tanpa tindakan apa-apa. of course, mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka telah lakukan. Seperti yang selalu aku tekankan pada mereka, "hidup bukan tentang bener atau salah, akan tetapi tentang siap menerima resiko atas apapun yang kita lakukan." Dengan kata lain, walupun mungkin kita melakukan kesalahan, it's okay. Yang paling penting adalah kita siap menanggung konsekuensi atas kesalahan kita. Dalam konteks peraturan sekolah, aku bilang, "tidak apa-apa jika kalian melanggar peraturan. Misalnya jika kalian gondrong. Tidak apa-apa. Yang terpenting ialah saat kalian gondrong kalian siap dengan resikonya. Siap dihukum, siap digunduli! Tidak apa-apa jika kalian tidak memakai topi saat upacara. Yang terpenting adalah kalian siap disuruh berdiri di depan menghadap matahari."

Dalam konteks nilai-nilai diatas, maka anak-anak yang membolos tersebut harus siap dengan konsekuensinya, yaitu dihukum. Mengapa harus dihukum? Tentu saja karena mereka telah melanggar kesepakatan tentang adanya jam tambahan. Selain itu juga karena mereka mengganggap diri mereka lebih penting daripada siswa-siswa lainnya, dalam hal ini the girls, dan pada saat yang sama menganggap kelas tambahan tidak penting.

Hukuman yang diberikan tentu saja yang mendidik. Punishment ini sebelumnya juga sudah diberitahukan di kelas. Mereka juga diperbolehkan untuk tidak menjalani hukuman. Tapi tentu saja harus siap dengan konsekuensi yang mengikuti, yaitu mendapatkan nilai D/E untuk Afektif. It's their choice. tidak ada pemaksaan.

Karena aku guru bahasa Inggris, maka hukumannya juga berkaitan dengan bahasa Inggris, yaitu menterjemahkan short story berjudul "The Bet" karya Anton Chekhov. Setelah itu menceritakannya secara lisan (in Indonesian) dan menuliskannya kembalai dengan bahsa mereka sendiri (in English). Tugas tersebut harus sudah dilakukan dan dikumpulkan sebelum Ujian Akhir Semester.

Mungkin diantara kalian ada yang tidak tahu siapa Anton Chekhov itu.
Anton Chekhov adalah penulis cerita pendek dan drama serta ahli fisika yang berasal dari Rusia. Dia dianggap sebagai salah satu penulis cerpen terbaik dalam dunia sastra. karirnya sebagai dramatis menghasilkan emapat karya klasik. Sementara itu cerita-cerita pendek terbaiknya sangat diagungkan oleh para penulis dan kritikus.Chekhov juga menjalani peran sebagai dokter pada saat dia menjadi sastrawan. "Ilmu pengobatan adalah istri resmiku," kata Chekhov, "dan sastra adalah selirku."

Lahir pada 29 Januari 1880 di Taganrog (daerah kekuasaan kekaisaran Rusia). Chekhov pada awalnya menulis cerita hanya untuk mendapatkan uang, tapi karena dengan ambisi seni yang tumbuh dalam dirinya, dia telah membuat inovasi yang menyebabkan evolusi dalam dunia cerita pendek modern.

The following is "The Bet" by Anton Chekhov. An assigment for my students.

The Bet
by Anton Pavlovich Chekhov (1860-1904)

It was a dark autumn night. The old banker was walking up and down his study and remembering how, fifteen years before, he had given a party one autumn evening. There had been many clever men there, and there had been interesting conversations. Among other things they had talked of capital punishment. The majority of the guests, among whom were many journalists and intellectual men, disapproved of the death penalty. They considered that form of punishment out of date, immoral, and unsuitable for Christian States. In the opinion of some of them the death penalty ought to be replaced everywhere by imprisonment for life.

"I don't agree with you," said their host the banker. "I have not tried either the death penalty or imprisonment for life, but if one may judge _a priori_, the death penalty is more moral and more humane than imprisonment for life. Capital punishment kills a man at once, but lifelong imprisonment kills him slowly. Which executioner is the more humane, he who kills you in a few minutes or he who drags the life out of you in the course of many years?"

"Both are equally immoral," observed one of the guests, "for they both have the same object -- to take away life. The State is not God. It has not the right to take away what it cannot restore when it wants to."

Among the guests was a young lawyer, a young man of five-and-twenty. When he was asked his opinion, he said:

"The death sentence and the life sentence are equally immoral, but if I had to choose between the death penalty and imprisonment for life, I would certainly choose the second. To live anyhow is better than not at all."

A lively discussion arose. The banker, who was younger and more nervous in those days, was suddenly carried away by excitement; he struck the table with his fist and shouted at the young man:

"It's not true! I'll bet you two millions you wouldn't stay in solitary confinement for five years."

"If you mean that in earnest," said the young man, "I'll take the bet, but I would stay not five but fifteen years."

"Fifteen? Done!" cried the banker. "Gentlemen, I stake two millions!"

"Agreed! You stake your millions and I stake my freedom!" said the young man.

And this wild, senseless bet was carried out! The banker, spoilt and frivolous, with millions beyond his reckoning, was delighted at the bet. At supper he made fun of the young man, and said:

"Think better of it, young man, while there is still time. To me two millions are a trifle, but you are losing three or four of the best years of your life. I say three or four, because you won't stay longer. Don't forget either, you unhappy man, that voluntary confinement is a great deal harder to bear than compulsory. The thought that you have the right to step out in liberty at any moment will poison your whole existence in prison. I am sorry for you."

And now the banker, walking to and fro, remembered all this, and asked himself: "What was the object of that bet? What is the good of that man's losing fifteen years of his life and my throwing away two millions? Can it prove that the death penalty is better or worse than imprisonment for life? No, no. It was all nonsensical and meaningless. On my part it was the caprice of a pampered man, and on his part simple greed for money. . . ."

Then he remembered what followed that evening. It was decided that the young man should spend the years of his captivity under the strictest supervision in one of the lodges in the banker's garden. It was agreed that for fifteen years he should not be free to cross the threshold of the lodge, to see human beings, to hear the human voice, or to receive letters and newspapers. He was allowed to have a musical instrument and books, and was allowed to write letters, to drink wine, and to smoke. By the terms of the agreement, the only relations he could have with the outer world were by a little window made purposely for that object. He might have anything he wanted -- books, music, wine, and so on -- in any quantity he desired by writing an order, but could only receive them through the window. The agreement provided for every detail and every trifle that would make his imprisonment strictly solitary, and bound the young man to stay there _exactly_ fifteen years, beginning from twelve o'clock of November 14, 1870, and ending at twelve o'clock of November 14, 1885. The slightest attempt on his part to break the conditions, if only two minutes before the end, released the banker from the obligation to pay him two millions.

For the first year of his confinement, as far as one could judge from his brief notes, the prisoner suffered severely from loneliness and depression. The sounds of the piano could be heard continually day and night from his lodge. He refused wine and tobacco. Wine, he wrote, excites the desires, and desires are the worst foes of the prisoner; and besides, nothing could be more dreary than drinking good wine and seeing no one. And tobacco spoilt the air of his room. In the first year the books he sent for were principally of a light character; novels with a complicated love plot, sensational and fantastic stories, and so on.

In the second year the piano was silent in the lodge, and the prisoner asked only for the classics. In the fifth year music was audible again, and the prisoner asked for wine. Those who watched him through the window said that all that year he spent doing nothing but eating and drinking and lying on his bed, frequently yawning and angrily talking to himself. He did not read books. Sometimes at night he would sit down to write; he would spend hours writing, and in the morning tear up all that he had written. More than once he could be heard crying.

In the second half of the sixth year the prisoner began zealously studying languages, philosophy, and history. He threw himself eagerly into these studies -- so much so that the banker had enough to do to get him the books he ordered. In the course of four years some six hundred volumes were procured at his request. It was during this period that the banker received the following letter from his prisoner:

"My dear Jailer, I write you these lines in six languages. Show them to people who know the languages. Let them read them. If they find not one mistake I implore you to fire a shot in the garden. That shot will show me that my efforts have not been thrown away. The geniuses of all ages and of all lands speak different languages, but the same flame burns in them all. Oh, if you only knew what unearthly happiness my soul feels now from being able to understand them!" The prisoner's desire was fulfilled. The banker ordered two shots to be fired in the garden.

Then after the tenth year, the prisoner sat immovably at the table and read nothing but the Gospel. It seemed strange to the banker that a man who in four years had mastered six hundred learned volumes should waste nearly a year over one thin book easy of comprehension. Theology and histories of religion followed the Gospels.

In the last two years of his confinement the prisoner read an immense quantity of books quite indiscriminately. At one time he was busy with the natural sciences, then he would ask for Byron or Shakespeare. There were notes in which he demanded at the same time books on chemistry, and a manual of medicine, and a novel, and some treatise on philosophy or theology. His reading suggested a man swimming in the sea among the wreckage of his ship, and trying to save his life by greedily clutching first at one spar and then at another.

The old banker remembered all this, and thought:

"To-morrow at twelve o'clock he will regain his freedom. By our agreement I ought to pay him two millions. If I do pay him, it is all over with me: I shall be utterly ruined."
Fifteen years before, his millions had been beyond his reckoning; now he was afraid to ask himself which were greater, his debts or his assets. Desperate gambling on the Stock Exchange, wild speculation and the excitability which he could not get over even in advancing years, had by degrees led to the decline of his fortune and the proud, fearless, self-confident millionaire had become a banker of middling rank, trembling at every rise and fall in his investments. "Cursed bet!" muttered the old man, clutching his head in despair "Why didn't the man die? He is only forty now. He will take my last penny from me, he will marry, will enjoy life, will gamble on the Exchange; while I shall look at him with envy like a beggar, and hear from him every day the same sentence: 'I am indebted to you for the happiness of my life, let me help you!' No, it is too much! The one means of being saved from bankruptcy and disgrace is the death of that man!"

It struck three o'clock, the banker listened; everyone was asleep in the house and nothing could be heard outside but the rustling of the chilled trees. Trying to make no noise, he took from a fireproof safe the key of the door which had not been opened for fifteen years, put on his overcoat, and went out of the house.

It was dark and cold in the garden. Rain was falling. A damp cutting wind was racing about the garden, howling and giving the trees no rest. The banker strained his eyes, but could see neither the earth nor the white statues, nor the lodge, nor the trees. Going to the spot where the lodge stood, he twice called the watchman. No answer followed. Evidently the watchman had sought shelter from the weather, and was now asleep somewhere either in the kitchen or in the greenhouse.

"If I had the pluck to carry out my intention," thought the old man, "Suspicion would fall first upon the watchman."

He felt in the darkness for the steps and the door, and went into the entry of the lodge. Then he groped his way into a little passage and lighted a match. There was not a soul there. There was a bedstead with no bedding on it, and in the corner there was a dark cast-iron stove. The seals on the door leading to the prisoner's rooms were intact.

When the match went out the old man, trembling with emotion, peeped through the little window. A candle was burning dimly in the prisoner's room. He was sitting at the table. Nothing could be seen but his back, the hair on his head, and his hands. Open books were lying on the table, on the two easy-chairs, and on the carpet near the table.

Five minutes passed and the prisoner did not once stir. Fifteen years' imprisonment had taught him to sit still. The banker tapped at the window with his finger, and the prisoner made no movement whatever in response. Then the banker cautiously broke the seals off the door and put the key in the keyhole. The rusty lock gave a grating sound and the door creaked. The banker expected to hear at once footsteps and a cry of astonishment, but three minutes passed and it was as quiet as ever in the room. He made up his mind to go in.

At the table a man unlike ordinary people was sitting motionless. He was a skeleton with the skin drawn tight over his bones, with long curls like a woman's and a shaggy beard. His face was yellow with an earthy tint in it, his cheeks were hollow, his back long and narrow, and the hand on which his shaggy head was propped was so thin and delicate that it was dreadful to look at it. His hair was already streaked with silver, and seeing his emaciated, aged-looking face, no one would have believed that he was only forty. He was asleep. . . . In front of his bowed head there lay on the table a sheet of paper on which there was something written in fine handwriting.

"Poor creature!" thought the banker, "he is asleep and most likely dreaming of the millions. And I have only to take this half-dead man, throw him on the bed, stifle him a little with the pillow, and the most conscientious expert would find no sign of a violent death. But let us first read what he has written here. . . ."

The banker took the page from the table and read as follows:

"To-morrow at twelve o'clock I regain my freedom and the right to associate with other men, but before I leave this room and see the sunshine, I think it necessary to say a few words to you. With a clear conscience I tell you, as before God, who beholds me, that I despise freedom and life and health, and all that in your books is called the good things of the world.

"For fifteen years I have been intently studying earthly life. It is true I have not seen the earth nor men, but in your books I have drunk fragrant wine, I have sung songs, I have hunted stags and wild boars in the forests, have loved women. . . . Beauties as ethereal as clouds, created by the magic of your poets and geniuses, have visited me at night, and have whispered in my ears wonderful tales that have set my brain in a whirl. In your books I have climbed to the peaks of Elburz and Mont Blanc, and from there I have seen the sun rise and have watched it at evening flood the sky, the ocean, and the mountain-tops with gold and crimson. I have watched from there the lightning flashing over my head and cleaving the storm-clouds. I have seen green forests, fields, rivers, lakes, towns. I have heard the singing of the sirens, and the strains of the shepherds' pipes; I have touched the wings of comely devils who flew down to converse with me of God. . . . In your books I have flung myself into the bottomless pit, performed miracles, slain, burned towns, preached new religions, conquered whole kingdoms. . . .

"Your books have given me wisdom. All that the unresting thought of man has created in the ages is compressed into a small compass in my brain. I know that I am wiser than all of you.

"And I despise your books, I despise wisdom and the blessings of this world. It is all worthless, fleeting, illusory, and deceptive, like a mirage. You may be proud, wise, and fine, but death will wipe you off the face of the earth as though you were no more than mice burrowing under the floor, and your posterity, your history, your immortal geniuses will burn or freeze together with the earthly globe.

"You have lost your reason and taken the wrong path. You have taken lies for truth, and hideousness for beauty. You would marvel if, owing to strange events of some sorts, frogs and lizards suddenly grew on apple and orange trees instead of fruit, or if roses began to smell like a sweating horse; so I marvel at you who exchange heaven for earth. I don't want to understand you.

"To prove to you in action how I despise all that you live by, I renounce the two millions of which I once dreamed as of paradise and which now I despise. To deprive myself of the right to the money I shall go out from here five hours before the time fixed, and so break the compact. . . ."

When the banker had read this he laid the page on the table, kissed the strange man on the head, and went out of the lodge, weeping. At no other time, even when he had lost heavily on the Stock Exchange, had he felt so great a contempt for himself. When he got home he lay on his bed, but his tears and emotion kept him for hours from sleeping.

Next morning the watchmen ran in with pale faces, and told him they had seen the man who lived in the lodge climb out of the window into the garden, go to the gate, and disappear. The banker went at once with the servants to the lodge and made sure of the flight of his prisoner. To avoid arousing unnecessary talk, he took from the table the writing in which the millions were renounced, and when he got home locked it up in the fireproof safe.


taken from http://www.classicshorts.com/stories/thebet.html


>Hari ini seperti hari-hari biasanya aku ngawasi di SMA 1 Jepon. kali ini mapel yang diujikan adalah Geografi. Berangkat jam 06.25an, ketika aku sampai di Jepon keaddan masih sepi. Di ruang pengawas hanya ada satu orang. Guru cowok. Aku ga tau sapa namanya. Jujur, akupun tidak ingin tau. Setelah bersalaman, segera aku duduk di tempat biasanya. Aku masukkan tas dan jaketku ke laci dan segera aku pegang hape-ku.

Inilah alasan mengapa aku tidak inging berbasa-basi. karena aku ingin segera buka soccernet.com. Aku pengen tau skornya Barcelona tadi malem (dan ngecek facebook tentunya...he..). 4-0! yes, Blaugrana menang lagi. Pagi tadi seneng rasanya coz Manchester United menang dan Braca juga menang.

Sambil menunggu bel masuk berbunyi, aku baca-baca berita saja. Tiba-tiba datang guru lain. Waktu hari pertama, tanggal 20 April, aku ngawasi dengan beliau. Tapi, to be frank, aku sudah lupa namanya. maklum pelupa..he.... Bapak tersebut duduk di sebelahku. kali ini otomatis aku harus menghentikan baca-bacaku. Kami ngobrol sebentar (walau sebenernya sampai bel ngobrolnya). Guru itu bercerita tentang sejarah daerah Jipang (aku sendiri ga pernah ke daerah itu. Pun tempatnya aku juga ga tau!). Seru juga seh ceritanya. Lumayan buat bunuh waktu..he...

Tak lama kemudian, Ibu Frisk datang. Waktu itu tempat yang tersisa tinggal di sebelahku, so she got no choice. She, then, sat next to me. Ya biasa...setelah itu kita basa-basi sebentar, trus tiba-tiba bel.

Setelah melihat jadwal pengawasan, aku baru tau kalo aku dapat ruang 7. Kali ini partnerku cewek. Aku belum kenal dengan guru tersebut. Ntar juga kenal sendiri gitu pikrku.

Di SMA Jepon penyelenggaraan UN-nya, menurutku, bagus. Sesudah mengetahui akan mendapat tugas di ruang berapa, para pengawas langsung dilayani oleh panitia yang mengurusi serah terima naskah soal dan lembar jawab. Itupun tiap ruang ditangani oleh satu panitia. Bagus banget. Jadi kami para pengawas tidak perlu antri. Dalam waktu kurang dari 2 menit, para pengawas ruang sudah memperoleh naskah soal UN dan LJUN (Lembar Jawab Ujian Nasiona). Dalam waktu kurang dari 5 menit sejak bel, para pengwas sudah sampai d runag masing-masing. Cukup cepat, dan yang ebih penting lagi, hal ini baik untuk siswa-siswa. Di sekolah tersebut ruang kelasnya juga tertata rapi. Jarak antar bangku juga pas. ga terlalu dekat, juga ga terlalu jauh. Tujuh tegel pas! Hebat. Meja-meja tersebut juga dibalik. Laci di setiap meja dihadapkan depan. Menjaga dari kemungkinan murid-murid berbuat curang. Sementara itu, meja pengawas, sesuai dengan aturan, berada di bagian tengah di depan keas. Bisa dibilang bahwa penataan ruang di SMA 1 Jepon sempurna. Four thumbs up for them. Jujur aku salut.

Selain pengaturan kelas yang tanpa cela, salah satu hal menonjol dari penyelenggaraan UN di satu-satunya SMA negeri se-Jepon yakni adanya lembar refleksi. Lembar tersebut digunakan untuk mengevauasi jalannya UN di SMA tersebut. Positif banget. Dari langkah tersebut bisa disimpukan bahwa SMA Jepon merupakan sekolah yang mau mengkoreksi dirinya sendiri dan tidak takut dikritik. Sekali lagi four thumbs up.

Seperti halnya manusia, tidak ada satupun yang sempurna. Demikian halnya dengan SMA N 1 Jepon. Salah satu kekurangan, dan sayangnya kekurangan ini sangat mengganggu, adalah sikap sebagian siswa-siswanyanya, terutama anak-anak IPS. ketika Ujianberlangsung mereka sibuk toleh kiri toleh kanan. Terkadang hal itu dilakukan saat ujian baru saja berlangsung. Ketika ditegur pun sama saja. Seperti anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, pengawas “meggonggong” mereka tetap kerja sama...hwakakaka…hebat sekali! Hingga capek rasanya mengingatkan. Hal lain yang menggangu ialah seringnya mereka ijin ke belakang. Selama aku ngawasi di sekoah tersebut, rekor anak yang ijin keluar ketika ujian berlangsung adalah 10 anak! Itu dari ruang yang aku awasi.entah runag lain. Pada saat-saat tersebut di luar ruang ujian terlihat anak hilir mudik ke beakang. Serasa bukan ujian saja. Meskipun demikian, tatkala mengawasi ruang yang terdiri dari anak-anak IPA, hal seperti itu tidak terjadi. Kaaupun ada, masih dalam batas-batas kewajaran.

Ketika dihadapkan pada situasi seperti itu, serba salah rasanya. Ditegur cara halus tidak bisa, nanti jika dikeras katanya terlalu keras. Waktu itu aku coba tegur pake ironi, tak lulu. Harapanku mereka jadi sadar..eeee...sama aja. Huh pusing. Intinya pengawasan hari ini bikin panas. Jengkel rasanya tadi. Aku juga ragu harus bertindak apa. Kalau itu murid-muridku sendiri seh gampang. noleh dikit ambil aja lembar jawabnya. Baik itu yang nyontek atau yang nyonteki, aku ambil semuanya. Beres. No mercy pokoknya....

Ya itu yang terjadi pagi sampai siang tadi. Situasinya sulit, but it’s part of the job. Sejauh ini aku rasa aku belum bisa mengatasinya, tapi aku percaya aku akan bisa. Aku harus menemukan cara. Apapun itu. Aku harap keadaannya ga akan kayak gitu terus.I must do something. At least, if I can't break the wall, I will climb the wall. I have to climb it. For the sake of my students. Let us see.