Growth Mindset by Rhenald Kasali
 
Siapa Rhenald Kasali? Ya itu fotonya di atas. Menurut Wikipedia, dia lahir di Jakarta, 13 Agustus 1960, umur 51 tahun, atau 52 besuk Agustus, adalah akademisi dan praktisi bisnis asal Indonesia. Ia juga merupakan guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rhenald Kasali dikukuhkan sebagai guru besar pada 4 Juli 2009. Rhenald Kasali adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi universitas tersebut. Selain bergerak sebagai akademisi, pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga produktif menulis.  Buku-buku yang ditulisnya selalu menjadi perhatian kalangan bisnis dan  dikoleksi oleh banyak dan hampir semua bukunya best sellermahasiswa.
Trus kenapa dengan dia? Nah, ini ada tulisannya yang menarik. coba baca aja, ada hubungannya dengan kalian kok.
  Hari Sabtu kemarin, sekitar seribu orang mengikuti yudisium di FEUI.  Mereka terdiri dari lulusan S1, S2, dan S3. Diantaranya ada 40 anak  didik saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cum-laude, dan dua  diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4.0). Bahkan salah satu yang  lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan), berusia paling muda  (21,5 tahun). 
Tetapi sepulang dari acara yudisium saya menerima  sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang  dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan  almarhum Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis  oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap almarhum (wajar karena  menurut orang dalam Apple, petugas FBI  yang ditugaskan melakukan  wawancara, dibuat Jobs harus menunggu selama 3 jam sebelum diterima).  Namun demikian, penulisnya mencoba memberikan  data-data objektif  sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas. 
“Meski  terkenal, ia ternyata hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65 pada  saat duduk di tingkat SLTA”, ujar laporan itu. Angka ini jelas objektif  dan bukan diambil dari pikiran penulis. Kalau Anda membaca report ini  jauh sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai  orang ini tidak cerdas.  Tetapi karena  kita membacanya sekarang, paling  Anda mengatakan apa urusannya IPK dengan karya yang telah dibangun  seseorang.  Bukankah impak jauh lebih penting daripada paper dan IPK? 
Seperti yang pernah saya tulis pada kolom di Jawa Pos setahun yang  lalu, manusia memiliki dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed  mindset. Orang-orang yang memiliki settingan pikiran tetap (fixed  mindset) cenderung sangat mementingkan ijazah dan gelar sekolah,  sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap dirinya  "bodoh". Baginya ijazah dan IPK hanya merupakan langkah kemarin,  sedangkan masa depan adalah soal impak: apa yang bisa Anda diberikan  atau dilahirkan.  Maka kepada mereka yang pernah belajar dengan saya  selalu saya tegaskan, pintar itu bagus, tetapi impak jauh lebih penting.   Celakanya universitas banyak dikuasai orang-orang yang bermental  ijazah dan asal sekolah sehingga mereka terkurung dalam penjara yang  mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka impak itu sama  dengan paper, atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan  atau tidak. 
   Kualitas Intake
Jadi, di akhir pekan  kemarin pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak saya senang memiliki  anak-anak yang cerdas, namun di lain pihak saya gelisah kalau mereka  yang ber IPK tinggi itu produk settingan tetap. IPK tinggi tetapi  terlalu membanggakan jejak sejarah: ijazah. 
Karakter  orang-orang dengan settingan tetap itu, menurut Carol Dweck, antara lain  adalah menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras  sia-sia, tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif) dan bila ada  orang lain yang lebih hebat darinya maka ia sangat sinis dan menganggap  mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti ini biasanya menjadi arogan  dan sering membanggakan “apa yang sudah ia capai”. Prestasi akademik di  masa lalu bisa menjadi pemicunya. 
Padahal kita semua butuh  orang pintar. Bahkan, di sebuah sekolah perempuan saya membaca kalimat  ini : Beauty is nothing without brain. Benar, cantik saja tidak berarti  apa-apa, bila tidak cerdas. Tetapi studi yang dilakukan Dweck memberi  jawaban yang melengkapi : pintar yang kita butuhkan adalah bukanlah  pintar yang sudah selesai, melainkan yang di setting untuk tumbuh  (growth mindset). 
Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa  kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka masih mau belajar, siap  menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting,  menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi dan bila ada pihak  yang lebih hebat darinya maka ia akan menjadikan orang itu sebagai  tempat belajar. 
Orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran  untuk direkrut. Maka di MMUI seperti juga di Harvard, kami tidak  terlalu mengandalkan test-test tertulis sebagai segala-galanya. Nilai  akademik masa lalu mereka boleh tinggi, tetapi kami dalami dalam  wawancara yang dilakukan orang-orang berpengalaman. Dari situ kami  sering mendapatkan insight, bahkan tidak jarang orang yang memiliki  hasil tes yang tinggi terpaksa digugurkan karena mereka terlanjur  terkunci dalam ruang gelap yang disetting tetap.  
Tetapi  apalah artinya semua itu kalau kita tidak berani mengubah mereka? Itulah  tugas kami sebagai pendidik merombak cara berpikir agar anak didik  tumbuh, bukan sekedar mendapat ijazah. Jadi, ke 40 anak-anak muda yang  lulus cum laude itu tentu masih ingat, bahwa musuh besar mereka adalah  kebanggan yang berlebihan terhadap prestasi yang telah dicapai kemarin.   
Kedepan, Indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang kaku yang merasa pintar sendiri.  Untuk melahirkan manusia-manusia unggul diperlukan kualitas intake yang  baik, disamping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan yang  tumbuh.  Maka proses seleksi menjadi sangat penting, di awal, di tengah  dan di akhir.  Bila dulu saya gelisah memandang lulusan yang meraih  gelar cum laude yang hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang  saya bisa bernafas lega karena Dweck telah membukakan jalan bahwa hal  ini bisa diatasi dengan settingan pikiran yang tepat. 
  
 
 
 
  
 
 
0 Post a Comment:
Post a Comment