Showing posts with label Pendidikan Guru Penggerak. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan Guru Penggerak. Show all posts

Tak terasa, tiba-tiba rangkaian kegiatan pendidikan guru penggerak  sudah berada di tiga per empat perjalanan. Banyak sekali yang dipelajari baik secara mandiri, bersama dengan fasilitator, pengajar praktik, dan instruktur, ataupun lewat kolaborasi dengan rekan CGP serta rekan guru di sekolah tempat saya mengajar ataupun sekolah yang berbeda.

Pada kesempatan ini saya ingin membuat sintesa atau kesimpulan dari berbagai materi yang sudah ada. Untuk melakukannya, ada beberapa pertanyaan untuk memandu penarikan kesimpulan ataupun kaitan antar materi.


Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil?


Jika melihat filosofi Ki Hadjar Dewantara yaitu “Ing ngarsa sung tuladha” yang berarti "di depan memberi contoh," “Ing madya mangun karsa” yang artinya "di tengah membangun semangat," dan terakhir “tutwuri handayani” yang bermakna "di belakang memberi dukungan," maka pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan adalah bahwa;

1) Keputusan seorang pemimpin juga harus bisa menjadi teladan.

Terkadang ada juga keputusan yang malah memadamkan semangat orang yang dipimpin, sebaliknya keputusan yang menjadi teladan bisa menginspirasi dan menggerakkan ke arah yang lebih baik.

Menjadi teladan bisa saja terjadi saat pemimpin membuat keputusan yang sebenarnya berbeda dengan pendapat pribadinya, tapi mendengarkan dan melaksanakan aspirasi pihak-pihak lain. Pada kesempatan ini pemimpin akan menjadi teladan karena tidak semata-mata mengedepankan ego jabatnnya tapi juga bisa menghargai dan menerima pendapat dari orang lain.

2) Keputusan seorang pemimpin juga harus bisa memberi semangat.

Misal jika belajar dari kasus yang dicontohkan di LMS tentang Pak Didi yang memergoki Rayhan yang merupakan siswa berbakat dalam bidang seni sedang menyontek pada saat ujian akhir sekolah Matematika.

Pengambilan keputusan dalam masalah ini selain harus memperhatikan Rayhan, juga harus teap memberi semangat Pak Didi. Jangan sampai gara-gara "menyelamatkan" Rayhan tapi memadamkan dedikasi dan integritas dari Pak Didi.

3) Seorang pemimpin juga harus bisa memberi dukungan atas keputusan yang diambil warga sekolah 

Keputusan-keputusan yang diambil di sekolah tidak semuanya ditentukan oleh kepala sekolah. Guru juga memiliki hak untuk mengambil keputusan berkaitan dengan siswa di kelasnya, begitu juga wakil kepala sekolah ataupun berbagai ketua program juga membuat keputusan.

Seorang pemimpin juga harus bisa memback-up dan mendukung keputusan yang diambil bawahannya selagi keputusan itu benar. Kalaupun salah, kepala sekolah juga seharusnya ikut bertanggung jawab karena itu bagian dari pengawasannya.

Dukungan itu akan membuat warga sekolah all out dalam berkreasi dan bergerak karena ada lingkungan yang positif karena pemimpin tidak gampang menyalahkan dan bisa menerima kesalahan sebagai bagian dari proses pembelajaran. 


Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Jika melihat prinsip-prinsip pengambilan keputusan antara lain end-based thinking, rule-based thinking, dan care-based thinking, nilai-nilai kebijakan yang kita percaya tentu saja berpengaruh dalam pengambilan keputusan.

Misal saja pengambilan keputusan dengan prinsip care-based thinking atau kepedulian. Prinsip ini mengajak kita menempatkan diri pada posisi orang lain. Sebenarnya prinsip kepedulian juga berdasar pada prinsip perlakukan orang seperti bagaimana kita ingin diperlakukan, tapi sering kali diartikan dengan sederhana lewat pengampunan atau pemakluman akan apa yang dilakukan seseorang. Masalahnya, konsep benar dan salah di prinsip ini terbatas pada pandangan pribadi orang tersebut, bukan kebenaran universal.  

Misal, ketika memaklumi seseorang yang menyuap dengan pemahaman bahwa jika kita ada di situasi yang sama maka kita akan menyuap juga. Atau ketika memaklumi perselingkuhan dengan pemahaman jika menghadapi godaan yang sama kita akan selingkuh juga.

Prinsip ini menempatkan kebenaran pada pandangan pribadi padahal tidak selalu seseorang akan bertindak hal yang sama jika dihadapkan pada situasi yang sama. Selain itu, faktor kasihan muncul dari faktor lain yang tidak relevan dengan masalah sebenarnya.

Dengan satu contoh nilai tersebut, yang ingin saya sampaikan adalah bahwa nilai yang dianut seseorang sungguh-sungguh mempengaruhi kecenderungan prinsip yang digunakan dalam pengambilan keputusan. 


Bagaimana kegiatan terbimbing yang kita lakukan pada materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil. Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut. Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada modul 2 sebelumnya?

Bimbingan yang dilakukan oleh pendamping praktik dan fasilitator membantu saya dalam menentukan tema coaching karena baik pendamping ataupun fasilitator memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengecek pemahaman dan, terutama, menentukan ide yang berkaitan dengan proses coaching.

Sejauh ini pengambilan keputusan cukup efektif dan tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Saya berpikir dengan penerapan yang konsisten pada berbagai situasi, saya mungkin baru akan bertemu pertanyaan-pertanyaan seiring dengan bertambahnya pengalaman saya.


Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan?

Kemampuan mengelola emosi dan menyadari aspek sosial emosionalnya sendiri berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengambil keputusan. 

Riset menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang sadar membutuhkan kemampuan regulasi emosional yang baik. Kurangnya kemampuan mengelola emosi membuat seseorang impulsif dan langsung bereaksi ketika dihadapkan pada suatu masalah. Padahal penting untuk diam sejenak, mengamati, dan menimbang fakta-fakta dan keadaan sebenarnya, dan lalu menguji benar-salah opsi keputusan yang akan diambil. Tindakan impulsif hanya melihat seuatu hal dari sisi tertentu saja sehingga kecenderungan pengambilan keputusan yang salah terjadi. 


Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?

Pembahasan kasus yang berkaitan dengan dilema etika tergantung dengan nilai-nilai kebajikan yang dianut seorang pendidik. Dengan asumsi bahwa kasus yang ada benar-benar dilema etika dan bukan bujukan moral yang dianggap dilema etika, maka sebenarnya tak masalah keputusan apapun yang diambil, toh dua-duanya benar dan sesuai dengan nilai kebajikan universal.

Akan sangat membantu jika dilihat dan dibuat proritas kebajikan yang disepakati sehingga bisa dipedomi untuk mengambil keputusan. 


Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman?

Keputusan yang berdampak pada terciptanya lingkungan positif, kondusif, aman, dan nyaman terbangun dengan komunikasi yang baik dengan berbagai pihak sehingga terkumpul fakta-fakta yang berkaitan dengan kasus/masalah. 

Dari situ, seorang pemimpin selain melakukan uji benar salah secara mandiri, dia juga bisa mengajak dan meminta warga sekolah untuk mengemukakan pendapatnya. Dengan keterbukaan itu, walau tentu saja keputusan tidak akan disetujui semua orang,  berbagai pihak yang terlibat bisa menerima keputusan karena sejak dari awal memang ada apresiasi dan penerimaan terhadap perbedaan pendapat.

 

Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Saya kira tantangan yang ada tergantung jenis kasusnya, tapi misal tentang budaya positif untuk mengembangkan perilaku positif siswa, banyak orang yang selama ini masih menggunakan pendekatan stimulus response terutama dengan pemberian hukuman masih cenderung berpikiran jangka pendek dimana perubahan perilaku bisa dengan cepat terjadi tak peduli apakah perubahan itu menetap atau tidak. Mereka berpikiran bahwa penerapan budaya positif dengan pemikiran output jangka pendek juga, padahal memunculkan motivasi dari dalam itu butuh proses yang panjang tapi ketika muncul hasilnya akan menetap.

Di kasus seperti itu, tantangannya lebih ke bagaimana memasukkan pemahaman dan sudut pandang yang berbeda dalam menghadapi satu masalah. Jika dilihat dari paradigma, maka tantangannya adalah bagaimana merubah paradigma jangka pendek ke jangka panjang.


Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

Jika berhubungan dengan kemerdekaan murid, tentunya selalu berhubungan dengan kodrat masing-masing anak, bahwa setiap anak memiliki kekuatan masing-masing. Disini kita berbicara tentang anak sebagai satu individu. Ketika anak tersebut berada di suatu kelas, maka sangat mungkin ada pertentangan antara individu lawan kelompok. Masalah yang mungkin muncul adalah bagaimana menyeimbangkan pembelajaran satu murid dengan murid lainnya.

Selain itu, misal guru berusaha menyediakan dan memfasilitasi variasi kebutuhan belajar, minat, dan profil belajar siswa, nanti juga akan ada pertentangan antara kepentingan guru dan keluarga berkaitan dengan me & family time melawan kepentingan untuk mencukupi kebutuhan keberagaman siswa.

Saya pribadi akan berusaha memfasilitasi perbedaan murid, oleh karenanya persiapan menjadi kunci. Saya membuat perencanaan yang bagus dan menyiapkan apa yang dibutuhkan murid beberapa bulan sebelumnya. Dengan begitu semua bisa dilakukan dengan perlahan dan waktu untuk diri sendiri dan keluarga tetap tercukupi.

Berkaitan dengan kenyataan keberagaman di kelas, saya bisa saja mengelompokkan murid yang memiliki minat yang sama, kebutuhan belajar yang sama, ataupun profil belajar yang sama sehingga penanganan bisa lebih efektif secara waktu dan tenaga. 


Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil sebuah keputusan, harus benar- benar memperhatikan kodrat murid. Selain fokus pada ilmu, guru juga harus memperhatikan kesejahteraan mental mereka. Keputusan yang diambil tak hanya memperhatikan faktor kognitif mereka tapi juga sosial dan emosionalnya. 

Ketika murid sejahtera secara sosial dan emosional, saat mereka merasa nyaman dan aman berkat lingkungan yang kondusif maka akan lebih mudah merawat benih kodrat mereka sehingga tumbuh menjadi pribadi yang sejahtera secara fisik, mental, spiritual, dan emosional. 

 

Apakah kesimpulan akhir yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Kesimpulan yang bisa saya tarik adalah bahwa filosofi Ki Hajar Dewantara sejalan dengan tiga prinsip pengambilan keputusan. Selain itu nilai-nilai kebajikan yang menjadi penggerak secara intrinsik dalam bertindak juga menjadi penentu arah dalam membuat keputusan. Ketika menimbang keputusan perlu juga untuk memanfaatkan kekuatan yang ada di sekolah, dengan pendekatan inquiri apresiatif, seorang pemimpin pembelajaran bisa meminta pendapat warga sekolah sehingga bisa mendapat masukan dalam memutuskan. Jika mengingat salah satu nilai dan peran guru penggerak yaitu kolaboratif, kerja sama antar warga sekolah mutlak diperlukan. 

Selain itu jika mengingat apa yang disampaikan KHD tentang kodrat murid, maka penting bagi seorang pemimpin untuk selalu berparadigma jangka panjang demi menuntun murid menuju kebahagiaan dan kesuksesannya. Oleh karenanya, pemimpin harus mengedepankan keberpihakan pada murid lewat pembelajaran berdiferensiasi, Ketika melakukan itu, guru dan pemimpin akan melaksanakan perannya sebagai guru penggerak yang mendorong kepemimpinan murid.

 

Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang menurut Anda di luar dugaan?

Setelah mempelajari secara mandiri, kolaborasi, lalu lewat eksplorasi pemahaman hingga berbagai tugas, terutama demonstrasi kontekstual, saya merasa pemahaman saya akan dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan sudah baik.

Ada banyak hal yang baru dan mencerahkan dalam modul ini, akan tetapi saya tidak melihat hal baru tersebut sebagai sesuatu diluar dugaan. Sebaliknya, saya senang karena modul ini membahas topik yang banyak terjadi di dunia pendidikan. Pengakuan akan fenomena ini, dan bukannya menganggapnya tidak ada, menurut saya adalah langkah maju dan usaha memperbaiki sehingga pendidikan Indonesia bisa lebih maju.


Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan apa yang Anda pelajari di modul ini?

Sebelum belajar di modul ini, sama dengan guru-guru lainnya, saya tentu saja sering berhadapan dengan dilema moral. Ketika menghadapi dilema itu saya juga mengambil keputusan, akan tetapi saya tidak secara ketat mengikuti 9 langkah pengambilan keputusan seperti yang diajarkan disini.

Saya juga memikirkan berbagai paradigma, utamanya jangka pendek vs jangka panjang, tapi saya tidak terlalu menyadari paradigma lainnya. Saya selalu berusaha memegang teguh nilai kebajikan kejujuran, keadilan, dan integritas, tapi, sejujurnya nilai kebajikan lain yang tersebut di modul ini mendapat perhatian kecil dari saya.

Misal tentang kesetiaan, saya selama ini merasa kesetiaan utama saya adalah pada anak, bukan institusi atau pertemanan. Saya juga berpendapat bahwa semua tindakan memiliki konsekuensi, maka jika ada tindakan buruk menghasilkan konsekuensi buruk, maka ya wajar saja. Karena itu pula, rasa kasihan, jujur, tidak memegang peranan penting karena saya berpikir bahwa selalu ada konsekuensi atas satu tindakan. Ditambah lagi, misal, jika menaruh kasihan pada pelaku curang (apapun bentuknya), si pelaku sendiri tidak menaruh kasihan pada orang yang dirugikan dengan perilaku curangnya, baik secara langsung atau tidak langung. Singkatnya selalu ada dua bahkan lebih sisi, dan saya lebih cenderung melihat dari sudut pandang pihak yang dirugikan. dan bagaimana caranya agar mereka tidak dirugikan. Jika dilihat dari prinsip, maka bisa disimpulkan bahwa cenderung end-based thinking. Mencari dan mempertimbangkan keputusan berdasarkan manfaat terbesar.

Terakhir, berkaitan dengan dilema, dulu saya lebih merasakan dan menimbang efek jangka pendek dan jangka panjang keputusan itu pada orang/pihak yang bersangkutan.    


Bagaimana dampak mempelajari konsep ini buat Anda, perubahan apa yang terjadi pada cara Anda dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?

Dampak yang paling kentara adalah adanya semacam SOP dalam menimbang suatu keputusan. Sebelumnya, saat melakukan hal tersebut, prosesnya lebih bersifat spontan dan mengandalkan insting tanpa ada serangkaian prosedur atau urutan yang jelas. Setelah mempelajari ini, selayaknya seorang pilot yang akan menerbangkan pesawat, saya harus memperhatikan serangkaian ceklis sehingga tidak terjebak dengan bujukan moral.

Ketika berhadapan dengan dilema bena lawan benar, saya bisa menimbang keputusan berdasarkan tiga prinsip, apakah berfokus pada hasil, aturan, ataupun kepedulian. Walaupun sering kali ketiga hal itu saling tumpang tindih, sekarang saya dengan sadar melakukannya. Hal itu sesuai dengan kompetensi sosial emosional berkaitan dengan kesadaran diri, begitu juga dengan mindfulness. 


Seberapa penting mempelajari topik modul ini bagi Anda sebagai seorang individu dan Anda sebagai seorang pemimpin?


Sangat penting karena semua orang adalah pemimpin. Pada dasarnya, seorang pemimpin adalah seseorang yang bisa mempengaruhi orang lain dan, entah pada level dan cara seperti apa, kita selalu mempengaruhi orang lain. In a good way and in a bad way.

Topik ini sangat penting karena meski tiap orang adalah pemimpin, tapi tak semua orang bisa menjadi pemimpin yang baik, pemimpin yang efektif karena untuk menjadi pemimpin seperti itu membutuhkan keterampilan tambahan yang tidak semua orang miliki.

Materi modul ini dan juga modul-modul sebelumnya membekali calon guru penggerak dengan pengetahuan dan keterampilan penting untuk menjadi pemimpin yang baik dan efektif.


via IFTTT
1. Latar Belakang 
Mengikuti falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah pedoman tumbuh kembang anak dalam kehidupan. Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menciptakan kenyamanan dan kebebasan bagi siswa untuk hidup dan berkembang sesuai kodratnya. 

William Glasser menyebutkan bahwa tiap individu memiliki kebutuhan dasar dan usaha untuk memenuhi kebutuhan itu akan memunculkan perilaku. Di saat yang sama, kebutuhan dasar itu berdasar dunia berkualiyas mereka.

Pemahaman yang kurang akan motivasi munculnya suatu perilaku dan adanya miskonsepsi-miskonsepsi membuat adanya diklat/seminar/diseminasi tentang budaya positif perlu. Hal itu terutama agar bisa membantu dan mentun anak menjadi pribadi yang merdeka, menjadi seorang individu yang termotivasi secara internal.


2. Tujuan 
  • Meyelaraskan pemahaman tentang budaya positif dalam hubungannya dengan disiplin positif, keyakinan kelas, dan posisi kendali guru. 
  • Menumbuhkan budaya positif dengan penyusunan keyakinan di kelas. 

3. Tolok Ukur Kesuksesan
  • Partisipasi aktif dari peserta diseminasi
  • Setiap kelas membuat keyakinan kelas
4. Dukungan yang Dibutuhkan 
Kegiatan aksi nyata yang dilakukan pada Senin, 16 Januari 2023 ini mendapat dukungan dari berbagai pihak.
  • Kepala Sekolah dengan antusias mendukung kegiatan ini.
  • Pak Seno Basuki, selaku Waka Sarpras, mendukung dengan menyiapkan tempat dan segala peralatan.
  • Ibu Martika Utami, rekan CGP yang berkolaborasi dalam aksi nyata.
  • Pak Bagus Pambajeng yang rela meminjamkan handphone untuk merekam.
  • Ibu Vivin yang sudah menjadi MC dalam acara ini.
  • Ibu Listyanik yang merelakan alatnya untuk dipinjam.
  • Pak Ali Mahmudi yang sudah mendokumentasikan.
  • Pak. Yusak yang sudah memimpin doa.
  • Pak Daryanto yang membantu megambil foto.
  • dan tentu saja, semua teman guru SMA  1 ngawen yang antusias hadir di diseminasi.

5. Tantangan Kegiatan Aksi Nyata
Tantangan yang paling terasa adalah kurangnya waktu. Ternyata waktu yang ada masih tidak cukup untuk megupas tuntas segala hal tentang budaya positif. Hal lain yang mejadi sedikit masalah adalah alat yang kurang untuk mendokumentasikan.

6. Tindak Lanjut
Hal yang akan dilakukan selanjutnya adalah terus melakukan diskusi baik secara formal ataupun informal untuk makin mendalami pemahaman akan budaya positif. Selain itu, manajemen waktu yang lebih baik.

7. Dokumentasi Aksi Nyata   

via IFTTT
taken from https://practicalpie.com/wp-content/uploads/2021/03/06-William-Glasser.jpg


Modul terakhir ini membahas tentang budaya positif. Disini saya belajar banyak dari Control/Choice Theory-nya Dr. William Glasser yang mendasari langkah-langkah segitiga restitusi-nya Diane Gossen. Pembelajaran yang saya dapatkan dari materi ini saya kira bahwa materi ini sangat sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa anak memiliki kodrat alam dan zaman yang berbeda dan bahwa kita harus menuntunnya menuju keselamatan.


Seperti yang dinyatakan dalam LMS GP 25 pada bagian Dunia Berkualias, murid memiliki gambaran dunia mereka sendiri dan setiap murid bisa berbeda-beda. Selanjutnya juga disebutkan bahwa penting untuk membangun interaksi yang memberdayakan. Memposisikan diri sebagai manajer dan menggunakan segitiga restitusi untuk membantu murid menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman adalah bentuk memberdayakan. Interaksi yang dilakukan juga memerdekakan murid artinya melatih mereka agar menemukan solusi masalahnya sendiri hingga pada akhirnya bisa menjadi pribadi yang mampu menentukan langkah sendiri tanpa pengaruh faktor eksternal atau luar. Hal ini sesuai dengan tujuan adanya disiplin positif yaitu membangun siswa yang memiliki motivasi motivasi intrinsik. Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline menyebutnya sebagai motivasi munculnya perilaku manusia karena mereka ingin menjadi manusia yang diinginkannya dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.


Dalam menjalankan itu semua, guru di awal bisa mengambil peran sebagai pemimpin pembelajaran yang kemudian berusaha mewujudkan kepemimpinan murid. Tentu saja semua peran terus didukung dengan kolaboras, baik lewat penggerakan komunitas praktisi ataupun saling menjadi coach bari guru lainnya.i


Pada akhirnya, semua yang dilakukan akan merujuk pada visi yang sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dalam Profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar Kritis, berkebhinekaan global, bergotongroyong, dan kreatif. 


Pemahaman

Jika ditanya apakah saya paham tentang materi di modul ini, tentang teori kontrol/choice dan juga tentang segitiga restitusi, iya saya bilang saya bisa paham. Saya juga paham bahwa teori munculnya perilaku ini terbatas pada tiap individu, bahwa gambaran dunia berkualitas dalam memandang satu kebutuhan bisa berbeda-beda. Saya paham tidak mudah mengubah dunia berkualitas seseorang. Saya paham bahwa butuh kompromi, waktu, dan terutama membangun kedekatan emosional terlebih dahulu agar bisa menggantikan atau menukar gambar yang sudah ada di kepala sesorang.


Perubahan

Sebenernya perubahan yang paling mendasar adalah tidak mengedepankan pendekatan psikologi behavioural yang berfokus pada stimulus respon. Dalam tataran sekolah sepertinya butuh waktu karena sekolah sering mengadakan kegiatan yang berfokus pembiasaan, sering kali dilakukan dengan dasar “pertama dipaksa, akhirnya terbiasa.” Hal tersebut sebenarnya mengabaikan fakta tiap anak secara kognisi dan emosi berbeda-beda, atau bahwa semua memiliki kodratnya sendiri-sendiri.


Jika berdasar pada apa yang dipelajari disini, berarti di level kelas yang bisa saya kontrol, saya bisa menawarkan nilai-nilai kebajikan apa yang mereka inginkan untuk jadi kesepakatan kelas dan menjadikannya semua sebagai pedoman. 


Pengalaman

Ketika mencoba menerapkan semua itu, seperti yang sudah saya sebutkan di depan, ternyata nilai kebajikan yang murid pilih kadang berbeda dengan yang saya inginkan. Misal, saya mengusulkan nilai kebajikan untuk selalu memakai masker. Walau bagi saya hal itu adalah baik, tapi lebih dari 50 persen warga kelas tidak setuju memasukkannya ke keyakinan kelas. 


Iya, dunia berkualitas mereka beda dengan saya. Tentu saja saya tidak boleh memaksakan kehendak dan harus fokus membangun koneksi yang lebih baik lagi. Bagi saya memakai masker adalah pemenuhan kebutuhan survival, bagi mereka tidak. 


Nilai kebajikan yang coba disepakati sebagai keyakinan kelas.

Perasaan

Sulit untuk mendeskripsikan perasaan saya saat itu terjadi. Saya tidak kecewa, tapi tidak juga bahagia. Cuma saya tahu itu bakal terjadi. Saya menghormati pandangan mereka. 

Posisi sebagian besar dari mereka memang belum ada motivasi internal untuk memakai masker. Saya masih menjadi stimulus bagi mereka untuk memakai masker. Ketika ada saya, mereka sungkan dan lalu memakai masker. Ketika tidak ada, mereka melepasnya. Kadang ketika ada saya pun tetap tidak memakai masker, baru setelah saya tanya dia akan mencari dan memakai maskernya.


Perilaku mereka juga masih banyak terpengaruh lingkungan sekolah dan rumah, baik itu guru, tetangga, orang tua, teman, atau saudara yang jarang memakai masker. Semua itu motivasi eksternal bagi mereka.


Apa yang harus dilakukan

Hal yang harus diperhatikan dan dilakukan adalah bahwa menyadari bahwa manusia itu kompleks dan terbentuknya perilaku yang konsisten butuh waktu yang panjang. Tidak bisa berharap satu kali penerapan segitiga restitusi lalu selesai. Ini semua proses, ini aemua perjalanan. Konsisten dan istikhomah menjalankan semua ini adalah kuncinya.


Apa yang pernah saya lakukan 

Jujur sebelum belajar ini saya pernah berada di posisi penghukum, pembuat rasa bersalah, pemantau, teman, dan manajer. Saya lakukan itu selama ini posisi penghukum saya lakukan ketika setelah memakai pendekatan posisi lainnya perubahan perilaku tidak terjadi.


Ilustrasi penerapan segitiga restitusi dengan siswa.

Apa yang sekarang saya lakukan

Sebelum mempelajari modul ini ketika di kelas saya lebih sering berinteraksi sebagai pemantau dan teman, jika ada perilaku negatif yang terjadi berulang kali dan perlu dintervensi maka saya menjadi posisi penghukum. Ketika itu saya lakukan yang saya pikirkan dan rasakan adalah anak tersebut tidak paham apa yang dia lakukan. Dia tidak tahu benar atau salah, terutama tidak paham akan konsekuensi tindakannya itu bagi dirinya di masa depan. Jujur kadang merasa jengkel karena dia tidak paham maksud saya, tapi saya juga mengerti posisi dia, sudut pandang dia. Agar dia paham konsekuensi di depan dan sudut pandang saya, biasanya saya sampaikan semuanya agar dia berpikir dan menyikapinya.  


Setelah mempelajari modul ini saya lebih menghindari posisi pembuat rasa bersalah dan penghukum dan fokus sebagai manajer dengan selalu menggunakan segitiga restitusi untuk membantu anak mengatasi dan mengkoreksi perilakunya sendiri. Hal yang saya ingatkan ke diri sendiri adalah sabar menghadapi proses anak dan lebih fokus di stabilisasi identitas dan validasi tindakan yang salah agar benar-benar mengerti posisi anak. Saat itu terjadi, kadang saya merasa terkejut karena tidak menyangka, kadang sedih mendengar ceritanya, tapi intinya saya jadi makin paham akan motivasi mereka dan tahu bahwa mereka pada dasarnya juga berjuang dan yang mereka lakukan saat itu adalah yang mereka bisa. Tugas saya selanjutnya adalah membantunya melihat alternatif-alternatif lain.


Perbedaan dari semua posisi, terutama penghukum dan manajer adalah ketika penghukum lebih fokus mengenakan sesuatu yang tidak disukai ke anak sebagai pemicu agar perilaku yang tidak diinginkan jadi hilang, sedangkan manajer berfokus membantu anak menemukan solusi masalah anak sehingga kedepannya anak bisa melakukannya sendiri, menjadi mandiri. Dalam posisi penghukum guru menjadi motivasi eksternalnya, sedangakan saat manjadi manajer, murid berubah karena motivasi internal.


Taken from https://rebeccagrayblog.files.wordpress.com/2013/09/triangle-mini-cards.jpg



Penerapan segitiga restitusi

Saya mengenal segitiga restitusi secara mendalam di modul ini. Berarti baru saja dua minggu terakhir. Akan tetapi, jika melihat ke belakang, saya sepertinya juga sudah melakukannya. Dari tiga langkah yang ada, tahap stabilisasi identitas dan menanyakan keyakinan mungkin yang tak terlalu panjang, biasanya waktu lebih banyak saya gunakan untuk tahap validasi tindakan yang salah.


Ketika ada murid yang mengalami masalah, misal terakhir kali ada murid yang sering tidak masuk baik alpa, ijin, atau sakit, saya mengajak dia berbicara berdua. Di awal saya minta dia cerita semuanya. Kenapa tidak masuk dan apa penyebabnya. Saya fokus mencari background masalahnya. Biasanya saya juga bertanya kondisi keluarganya. Intinya saya ingin tahu apakah sering tidak masuk sekolah adalah solusi masalah bagi dia. Jika itu solusi masalah, maka masalah dia apa. Setelah ketemu apa masalahnya, baru saya bantu dia.


Dalam tahapan peristiwa terakhir itu, stabilisasi identitas seperti tidak dilakukan di awak, tapi di akhir saya coba mengkonfirmasi bahwa tujuan dia saya ajak bicara bukanlah untuk memarahi atau menghukum tapi mencari tahu penyebab dan terutama membantu.


Penutup

Penciptaan budaya positif baik di kelas ataupun di sekolah, menurut saya, harus kembali mengingat bahwa yang dihadapi adalah manusia dan manusia itu kompleks dan berbeda-beda, tak hanya pada usia, minat, bakat, dan kompetensi, tapi juga tahap perkembangannya. Dalam proses menentukan perilaku manusia dan usahanya membentuk budaya positif, semuanya selalui dari proses belajar. Kata belajar ini tidak berarti sempit seperti membaca buku atau kegiatan yang ada di kelas, tapi termasuk didalamnya proses menerima pengaruh baik dari lingkungan sekitarnya, pengetahuan, biologis, ataupun lainnya.

Bayangkan saja, pengalaman -> proses belajar -> Perubahan perilaku 


Penting untuk menyadari bahwa proses belajar tiap murid akan berbeda dan tak bisa berharap perlakukan/pengalaman yang sama akan menghasilkan perubahan perilaku yang sama.


Oleh karenanya, guru juga harus menyikapinya dengan positif dan bersikap adaptif menghadapi dinamika yang ada. Bagi saya pribadi, penting juga untuk menggali pandangan Dr. William Glasser dan Diane Gossen dari sumber pertama.


Guru juga paling tidak harus paham prinsip dasar classical conditioning, yang mungkin mendasari ketakutan dan ketidaksukaan murid pada mata pelajaran tertentu, karena apa yang mereka alami di masa lalu, misal setiap pelajaran itu selalu diikuti dengan kejadian yang tak menyenangkan (dimarahi atau lainnya), sehingga mata pelajaran yang sebenarnya netral atau bahkan menyenangkan menjadi subyek yang dihindari. Pemahaman akan konsep itu bisa mencegah yang serupa terjadi terutama pada anak yang memang perilakunya banyak muncul dari stimulus respon.


Karena tujuannya memunculkan motivasi intrinsik, guru harus paham juga bahwa praktik pemberian punishment dan reinforcment (baik positive atau negatif) sebagai wujud penerapan operant conditioning yang banyak diterapkan di dunia pendidikan juga harus sedikit demi sedikit ditinggalkan terutama ketika anak sudah mulai masuk ke masa remaja. 


Sekali-lagi tujuan guru secara umum adalah agar bisa membantu anak menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang mendorong perkembangan, aman secara mental dan fisik, serta nyaman.